Kisah Bung Tomo dengan semangat yang berkobar
Merdeka.com - Pada era kemerdekaan Indonesia, radio memiliki peran penting dalam perjuangan mempertahankan proklamasi yang baru saja dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Pada era itu, radio menjadi satu-satunya sumber informasi atas setiap kejadian di dunia maupun Indonesia.
Adalah Sutomo, pria kelahiran Surabaya 3 Oktober 1920, yang mewacanakan kelahiran radio pertama untuk mengumandangkan pekik kemerdekaan. Sesaat setelah Indonesia merdeka, dia mendirikan dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) dengan cabang yang tersebar di seluruh Tanah Air.
Sebagai ketua BPRI, pria yang akrab dan dikenal dengan panggilan Bung Tomo ini selalu mengumandangkan pidato-pidato tentang perjuangan melalui siaran radio, yang ia beri nama Radio Repoeblik Indonesia (RRI). Melalui RRI, mereka merelai siarannya dari Sabang hingga Merauke.
Namun, sebelum mendirikan RRI, Bung Tomo sempat tidak mendapatkan persetujuan dari Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Saat mendatangi Jakarta, Amir tak memberikan izin atas usulnya mendirikan stasiun radio khusus.
Kekecewaan yang dia rasakan semakin berat. Di Jakarta, pasukan sekutu datang bersamaan dengan serdadu Belanda pada 30 September 1945. Di saat bersamaan, ia juga masih berstatus sebagai wartawan Antara. Tak hanya itu, ia menjadi kepala bagian penerangan Pemoeda Repoeblik Indonesia (PRI).
Sebelum kembali ke Surabaya, Bung Tomo mendengar peristiwa perobekan bendera Belanda berwarna merah, putih dan biru di Hotel Yamato. Usai dirobek, para pemuda dengan dukungan dari rakyat kembali menaikkan bendera merah putih setelah membuang warna biru.
Demi memelihara semangat perlawanan, Bung Tomo tetap nekat mendirikan sebuah Radio sekembalinya dari Jakarta. Radia yang ia beri nama 'Radio Pemberontakan' ini mulai mengudara pada 16 Oktober 1945. Awal menyiarkan pesan-pesan perjuangan, stasiun pemancar masih meminjam milik RRI Surabaya.
Sejak didirikan, Bung Tomo menjadi satu-satunya penyiar. Dengan suara penuh semangat dan menggelora, ditambah intonasi memikat membuat radio ini semakin banyak didengar. Sebelum membaca dan selesai berpidato, ia tak pernah lupa mengucapkan "Allahu Akbar."
Namun, cara ini ternyata tak disukai Jakarta. Suami Sulistina ini dianggap terlalu 'menghasut' rakyat untuk berperang dan melupakan jalan diplomasi. Namun, pemerintah hanya bisa diam dan membiarkannya terus mengudara.
Tepat pada 25 Oktober 1945, pasukan sekutu yang didominasi serdadu Inggris tiba di Surabaya di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby. Sebelum tiba, Bung Tomo sempat melakukan orasi di radio. Berikut petikannya:
"Kita ekstremis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki."
"Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstremis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
Pertempuran pun pecah di Surabaya pada 27 Oktober setelah Inggris membebaskan intel Belanda yang ditangkap pejuang. Mereka lantas mengambilalih sejumlah instalasi seperti kantor jawatan kereta api, kantor telepon dan telegraf, serta rumah sakit.
Kontak senjata sempat mereda setelah Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya setelah Inggris merasa terdesak. Namun, tewasnya Mallaby membuat Inggris marah dan mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerah.
Bung Tomo tak mau mematuhi permintaan itu, sehari sebelum gempuran Inggris dimulai, Bung Tomo sempat berpidato untuk menggelorakan rakyat. "Saudara-saudara rakyat Surabaya. Bersiaplah! Keadaan genting. Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu."
"Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka. Dan untuk kita, Saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap. Merdeka atau mati! Dan kita yakin, Saudara-saudara, akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Saudara-saudara!
"Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!"
Kali ini, pidatonya mendapat tanggapan dari RRI Surabaya. Stasiun radio milik pemerintah ini pun merelai ucapannya hingga ke seluruh Indonesia. Meski akhirnya para pejuang berhasil dikalahkan dan Surabaya jatuh ke tangan sekutu, namun semangat yang dikobarkan Bung Tomo tetap melekat hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar